Ruang keluarga penuh, sungguh tak seperti biasanya. Ada
yang membuatnya terlihat lebih sempit yaitu tempat tidur yang memang sengaja
diletakkan di situ. Bukan tanpa alasan, ini karena beberapa hari lalu ibu baru
saja pulang dari rumah sakit. Sudah dua minggu ibu dirawat di sana, walaupun
belum sembuh benar, beliau harus pulang. Jika sudah sedikit baikan tentu saja
akan lebih baik jika dirawat jalan saja di rumah.
Aku yang tak selalu mendampingi beliau bukannya tidak
khawatir. Tentu saja sebagai anak, rasa sedih pasti menghampiri. Ibuku kini
pulang dalam kondisi tidak bisa berjalan. Beliau dibantu menggunakan kursi
roda. Jika harus buang air saja berensot
atau berpindah dengan posisi duduk.
Hari itu, seperti biasa aku pulang ke rumah dari tempat
kerja yang letaknya jauh dan menempuh waktu sekitar 2 jam menggunakan bus. Walaupun
tak setiap hari pulang, lelah pasti terasa di badan. Walau kita membantah, tapi
badan pasti jujur pada dirinya sendiri. Aku yang selalu bertahan pada hari
senin sampai dengan kamis, ambruk juga. Aku yang selalu meyakinkan bahwa diriku
baik-baik saja di sana memang tidak baik-baik saja. Bayangkan saja, selama
empat hari itu aku sama sekali tidak buang air besar. Sungguh ironis, entah
karena kurang serat atau perutku pandai memilih tempat. Aku khawatir dengan
keadaan ini. Setiap kali di sana, aku memang membantah kalau suhu badan lebih
tinggi dari biasanya. Yang membuat tampak jelas adalah gejala flu yang ku alami,
batuk-batuk. Tapi biasa aku berpikir itu cuma biasa saja.
Aku yakin, setiap orang yang punya rumah dan keluarga
pasti ingin pulang. Rumah tanpa keluarga bukanlah rumah. Mungkin hanya bisa
dibilang rumah singgah. Rumah yang membantu penggunanya agar tak repot
bepergian jauh untuk sementara. Semuanya ingin kembali, termasuk aku. Bahkan
yang ku amati di sekitar, ada yang sudah menikah masih saja ingin pulang. Malah
mereka memilih tetap tinggal bersama orangtua mereka walaupun sudah bersuami.
Atas dasar pemikiran itu, ku kira diriku hanyalah manusia normal yang tak
berbeda dari yang lainnya.
Setiap orang punya sudut pandang yang berbeda dalam
melihat sebuah masalah, itu ditentukan oleh seberapa banyak pengalaman yang
mereka dapatkan sepanjang hidupnya. Bahkan ada yang berumur sama juga berbeda,
tergantung kondisi lingkungan tempat dia tumbuh dan berkembang. Ada hal yang
sulit bagi orang lain, ternyata mudah bagi yang lainnya. Begitu pula
sebaliknya. Cukuplah memahami kondisi masing-masing, sering menggunakan kata
seandainya. Ya, seandainya saya adalah dirinya, dapatkah saya mengatasinya?
Jika jawabannya ya, mungkin anda memang hebat atau anda yang mengabaikan
beberapa variabel. Anda yang terlahir memang dalam kondisi yang kekurangan,
akankah sama dengan orang yang terlahir sebaliknya? Anda memang lebih
berpengalaman.
Aku yang terlalu sibuk denganpemikiranku sendiri, masih
bisa membaca semuanya. Karena aku berpikir bagaimana jika mereka adalah diriku,
pastilah timbul pemikiran seperti itu. Tapi ku buang saja semuanya, agar hidup
lebih bahagia. Cuma aku tak tahu apakah mereka juga berpikir layaknya diriku.
Aku tiba di rumah sudah hampir jam tiga. Duduk sebentar menunggu
azan sambil menunggu suhu tubuh kembali normal barulah mandi. Apakah karena mati
rasa, aku merasa baik-baik saja makanya mandi. Memang sih waktu pulang, ragaku
sedikit lemah. Tapi aku tak pernah berpikir bahwa itu akan berlanjut. Selesai
solat, lama kelamaan aku merasa kedinginan. Mataku rasanya agak panas, berat
sekali sungguh ingin tidur. Tanpa ragu,
ku ambil selimut dan berbaring di kamar sendiri. Walau pun sudah menutup mata,
tetap saja aku tak bisa tidur. Karena kesepian, aku memutuskan berbaring di
ruang keluarga. Di sana ada ibu yang berbaring lemah, dan tante yang sedang
mengurus anaknya. Aku berbaring di situ. Lama kelamaan ibu bertanya,”Demam ke, Nak?” (apakah kamu demam,
anakku?). Dan tentu saja menjawab, “Ndak,
Mak” (tidak mak). Aku memang tak ada niat untuk cuti kerja. Aku dengan
pemikiran positifku tentu saja menganggap mungkin saja ini efek malas, bukan
demam. Tanteku pun menyentuh tubuh dan dahiku,”Aok demam die” (ya, dia memang demam). Dan aku pun menanggapi bahwa
aku tidak tahu kalau tubuhku demam. Ku kira itu hanya malas biasa. Aku yang
bersikukuh tidak demam akhirnya ketahuan demam. Padahal aku ingin sekali besok
tetap pergi kerja.
Aku dan pemikiranku memang tidak enak jika harus absen
lagi. Pikiran orang pasti berimprovisasi. Aku yang memang tak suka dengan
alasan, tentu saja tak suka memberikan alasan. Inilah, itulah. Karena alasan
takkan pernah mengubah keadaan. Bahkan ada yang tidak senang dengan alasan yang
diberikan. Padahal kenyataannya seperti itu. Hanya mereka yang belum
mengalaminya. Perasaanku memang tidak salah. Absen kali ini membuatku terluka.
Maafkan aku yang terlalu sensitif.